Monday, 3 April 2017
Ketika Air Rebusan Sayur Dijadikan MPASI
Ketika Air Rebusan Sayur Dijadikan MPASI
Suherni Sulaeman - detikHealth
Senin, 03/04/2017 14:34 WIB
Foto: GettyImages/Livestrong
Jakarta, Tak terasa si kecil kian hari kian menggemaskan. Semenjak lahir hingga usianya 6 bulan, satu-satunya nutrisi terbaik adalah ASI. Namun, bertambahnya usia, ASI saja tidak cukup memenuhi kebutuhan gizinya. Oleh karena itu, bayi harus diberikan makanan lain, yakni makanan pendamping ASI atau yang biasa disebut MPASI.
Makanan bayi yang sehat adalah makanan yang dibuat sendiri di rumah atau home made. Faktanya banyak ibu, khususnya ibu baru yang masih bingung menyoal MPASI untuk bayinya. Untuk makanan pendamping ASI, sayuran masuk dalam daftar nutrisi wajib harian bayi. Akan tetapi, bagaimana jika ibu memberikan sayuran yang direbus, lalu air rebusannya dipakai untuk campuran bubur bayi?
"Untuk bayi berusia 6 bulan, sebetulnya tidak apa-apa diberikan sayuran rebus," terang dokter spesialis anak dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, dr Meta Hanindita, SpA.
Kendati demikian, dr Meta mengatakan bahwa kandungan zat besi pada sayuran relatif lebih sedikit dibanding dengan makanan lain seperti hati atau daging ayam dan sapi. Oleh sebab itu, buatlah menu MPASI yang berimbang untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi sebagai pendukung tumbuh kembangnya.
"Jika ibu hanya memberikan MPASI sayuran rebus dengan air rebusannya saja, tentu risiko terkena anemia defisiensi besi akan meningkat," tutur dr Meta.
Dikatakan juga oleh nutrisionis, Leona Victoria Djajadi MND lulusan University of Sydney, kandungan gizi sayuran yang direbus akan rusak bila terkena panas, sebab banyak vitamin dan mineral yang tidak tahan panas tinggi atau larut air.
"Jadi air rebusan tersebut tidak mengandung nutrisi, nutrisi yang tersisa setelah masak ada di sayurnya sendiri," kata Victoria.
Sumber Detik.healthy.com
Sunday, 2 April 2017
Standar 'Emas' Makanan Bayi: IMD, ASI Eksklusif dan MPASI Bergizi
Standar 'Emas' Makanan Bayi: IMD, ASI Eksklusif dan MPASI Bergizi
Ajeng Anastasia Kinanti - detikHealth
Kamis, 23/03/2017 07:49 WIB
Foto: Getty Images
Jakarta, Guna mengoptimalkan asupan gizi dan tumbuh kembang anak, ada tiga standar emas makanan bayi yang perlu dipahami orang tua: IMD (Inisiasi Menyusui Dini), ASI eksklusif dan MPASI bergizi seimbang.
Meski terkesan sepele, sayangnya hal ini masih kerap disalahartikan oleh orang tua. Oleh sebab itu, pelaksanaannya pun belum optimal. Demikian disampaikan oleh pakar laktasi dari Sentra Laktasi Indonesia (SELASI), dr Utami Roesli, SpA, IBCLC, FABM.
"Jadi ada yang namanya standar emas makanan bayi ya, ini rekomendasi dari WHO, yang merupakan standar paling tinggi. Tiga standar itu adalah inisiasi menyusui dini, pemberian ASI eksklusif yaitu cukup ASI saja selama 6 bulan, serta pemberian MPASI yang berkualitas dan bergizi," ujar dr Utami dalam workshop jurnalis "Infant and Young Child Feeding", yang diadakan di Intercontinental MidPlaza Jakarta, Rabu (22/3/2017).
Inisiasi Menyusui Dini alias IMD dilakukan dengan meletakkan bayi di atas payudara ibu segera setelah dilahirkan. Bukan sekadar 5 atau 10 menit, menurut dr Utami IMD yang tepat dilakukan minimal satu jam. Ia menuturkan, yang banyak dilakukan saat ini justru sangat singkat dan tidak efektif.
Untuk ASI eksklusif dianjurkan untuk dilakukan selama enam bulan kehidupan. Ini berarti hingga usia enam bulan, bayi hanya diberikan ASI saja, bukan air atau makanan lain. Ditegaskan oleh dr Utami bahwa ASI telah memenuhi semua nutrisi yang diperlukan bayi dalam enam bulan pertama kehidupannya.
Setelah anak mulai diberikan makanan pendamping ASI atau MPASI, dr Utami juga menganjurkan para ibu untuk memberikan makanan rumahan pada bayinya, bukan makanan instan. Dalam fase ini, anak tetap dianjurkan untuk diberikan ASI.
"Tidak apa-apa sambil terus menyusui, bahkan sampai usia anak dua tahun atau lebih. Setelah enam bulan, ASI masih memenuhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan anak," imbuh dr Utami
.
Sumber Detik.Healhty.com
Jauhi Makanan Berkalori Tinggi Tapi Tetap Gemuk, Salah di Mana?
Jauhi Makanan Berkalori Tinggi Tapi Tetap Gemuk, Salah di Mana?
Suherni Sulaeman - detikHealth
Sabtu, 01/04/2017 15:05 WIB
Foto: thinkstock
Jakarta, Mengurangi berat badan memang terasa sulit bagi banyak orang. Meski sudah berjuang menjauhi makanan berkalori tinggi dan berlemak seperti susu, keju, pizza, burger, dan kawan-kawannya, tapi tetap saja rasanya sia-sia. Salah di mana?
"Menjadi gemuk itu bukan melulu karena makanan tersebut. Makanan lokal pun bisa membuat gemuk. Contoh gampangnya adalah terlalu banyak makan gulai, santan, goreng-goreng dan minum minuman manis-manis," ungkap ahli gizi dan diet, Leona Victoria Djajadi MND.
Ditambahkan Victoria, mengurangi jatah makan besar juga belum tentu mengurangi kalori yang dikonsumsi. Apalagi bila hobi mengemil belum benar-benar hilang. Pasalnya, jumlah kalori dipengaruhi oleh jenis makanannya, apakah itu nasi, lauk, sayur, dan bagaimana cara memasaknya, direbus, ditumis, atau digoreng.
"Jadi perlu memperhatikan apa yang dimakan. Kalau hanya makan 1 kali sehari, seperti mengikuti pola diet Intermitten Fasting maka tidak masalah. Yang menjadi masalah jika ternyata ngemilnya sepanjang hari," kata wanita lulusan University of Sydney.
Salah satu trik untuk mengurangi berat badan adalah mengurangi konsumsi minyak dan lemak, sebab dua nama tersebut mengandung kalori 2 kali lipat lebih banyak dibanding karbohidrat dan protein. Maka itu, pilihlah minyak zaitun sebagai pilihan minyak yang baik untuk menumis atau menggoreng.
Selain itu, kata Victoria kurangi juga asupan garam yang biasanya ada pada makanan cepat saji atau instan.
"Di dalam tubuh, garam akan menyerap air sehingga air tidak bisa digunakan untuk keperluan lain, menyebabkan naiknya tekanan darah dan menambah berat badan," pungkas Victoria.
Sumber Detik.Healthy.com